Investigasi dan Intervensi Gizi Buruk
November 12, 2011 2 Komentar
Polewali Mandar Sulawesi Barat @arali2008.–– Kasus Gizi Buruk pada anak, sangat berhubungan dengan kemiskinan, terutama keluarga miskin dengan ketersediaan pangan di rumah tangga yang tidak cukup untuk konsumsi hariannya. Terjadi juga ketidak mampuan akses pelayanan kesehatan. Akibatnya anak-anak balita yang tumbuh dan berkembang pada keluarga miskin tersebut mengalami kesakitan dan kekurangan gizi.
Wilayah yang ditemukan kasus gizi buruk biasanya tidak hanya terjadi pada satu anak tetapi juga terjadi pada anak-anak lainnya diwilayah terjadinya gizi buruk tersebut. Secara keseluruhan wilayah tersebut sebenarnya banyak keluarga miskinnya dengan ketersediaan pangan yang terbatas dan akses pelayanan gizi dan kesehatan yang sangat jelek, maka seharusnya setiap Kasus Gizi buruk yang ditemukan dinyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB). oleh para pengambil keputusan.
Namun sangatlah disayangkan ketika satu kasus gizi buruk itu ditemukan para Pengambil Keputusan, Ragu —- atau mungkin tidak mengetahui —- untuk melakukan instruksi kepada petugas kesehatan terutama petugas gizi untuk melakukan investigasi dan intervensi standar Operasional-KLB-Gizi Buruk terhadap kasus gizi buruk yang ditemukan.
Para petugas hanya melakukan intervensi pada kasus gizi buruk tersebut, tetapi tidak melakukan investigasi dan intervensi terhadap anak-anak balita lainnya diwilayah dimana terjadi kasus gizi buruk. Sehingga tidak mengherankan belum tuntas penanganan gizi buruk yang pertama, pada tempat (wilayah posyandu) yang sama muncul kemudian kasus gizi buruk berikutnya.
Saya masih ingat ketika terjadi krisis ekonomi di tahun 1998, salah salah dampak yang ditimbulkannya adalah terjadinya kasus gizi buruk yang melanda hampir sebagian besar wilayah Indonesia. Menteri Kesehatan RI kemudian memberikan Instruksi kesemua Jajarannya dari Pusat sampai ke daerah, bahwa satu kasus gizi buruk adalah Kejadian Luar Biasa.
Instruksi Menteri Kesehatan RI. Nomor 1209/Menkes/X/1998 tanggal 19 Oktober 1998 mengatakan bahwa Setiap Kasus Gizi Kurang Berat (Gizi Buruk) dinyatakan sebagai KLB (KEJADIAN LUAR BIASA). Sehingga dalam waktu 1×24 jam sudah harus Terlaporkan Penanganannya. Melalui Proses Investigasi dan Intervensi Penangganan Gizi Buruk.
Instruksi ini masih dinyatakan berlaku hingga sampai saat ini, terutama penggunaan cara melaporkan kasus gizi buruk melalui proses Investigasi dan Intervensi Penanganan Gizi Buruk.
Berikut ini salah satu prosedur investigasi dan intervensi atau tepatnya Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Gizi Buruk yang disadur dari Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) yang dapat digunakan pada pengelola dan pengambilan keputusan dalam menyingkapi terjadinya kasus gizi buruk :
Ketika ada laporan gizi buruk (satu gizi buruk saja) maka tangani gizi buruk tersebut dan selanjutnya lakukan investigasi dan intervensi dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
- Apakah telah terjadi penurunan N/D dan BGM? Bila tidak terjadi penurunan N/D (balita yang Naik Berat Badanya) dan tidak terjadi peningkatan BGM (anak dengan pertumbuhan Berat Badan di Bawah Garis Merah pada Kartu Menujuh Sehat (KMS-Balita) maka lakukan intervensi tingkat pertama. Dan bila terjadi penurunan N/D dan peningkatan BGM maka lakukan pengecekan Pola Konsumsi.
- Apakah terjadi Perubahan Pola Konsumsi? Bila tidak terjadi perubahan pola konsumsi maka lakukan intervensi tingkat kedua. Bila terjadi perubahan pola konsumsi maka lakukan pengecekan jumlah keluarga miskin.
- Apakah Telah terjadi peningkatan Keluarga Miskin? Jika tidak terjadi peningkatan jumlah keluarga miskin maka lakukan intervensi tingkat III. Dan jika terjadi peningkatan jumlah keluarga miskin maka lakukan intervensi tingkat IV.
Penjelasan keseluruhan dari 3 (tiga) pertanyaan tersebut adalah Jika telah terjadi kasus gizi buruk atau ada laporan gizi buruk maka yang harus dilakukan adalah :
Laporan Gizi Buruk !
Pertama : Melakukan investigasi kasus gizi buruk tersebut, setelah mendapat data individu secara lengkap beserta sebab-musebabnya kemudian kasus dirujuk serta nyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) sebagai bahan untuk rekomendasi tindak lanjut pengecekan anak-anak balita dan keluarganya di sekitar wilayah (posyandu) kasus gizi buruk ditemukan. Untuk mencegah timbulnya kasus gizi buruk baru, lakukan pengecekan pada anak-anak balita lainnya diwilayah posyandu dimana ditemukan kasus gizi buruk, apakah anak-anak tersebut telah terjadi penurunan berat badan dan diantara mereka ada yang berat badannya turun sampai di bawah garis waspada (garis merah KMS).
Cek N/D dan BGM !
Kedua : Selanjutnya ada dua hal yang harus dilakukan ketika hasil pengecekan (investigasi) penurunan berat badan dan adanya sejumlah balita yang BGM-KMS yaitu
- Jika tidak terjadi penurunan Berat Badan Balita dan tidak adanya BGM-KMS maka tidak perlu dilakukan investigasi lebih lanjutnya terhadap keluarga balita. Yang dilakukan hanya Intervensi dengan mengaktifkan secara maksimal konseling (KIE) pada keluarga balita yang datang di posyandu maupun keluarga balita yang tidak datang di posyandu. Konseling (KIE) dapat juga dilakukan semua stakeholder wilayah terjadinya kasus gizi buruk. Pemantapan posyandu harus juga segera dilakukan karena satu gizi buruk yang ditemukan di posyandu tersebut telah menunjukkan bahwa pengelolaan posyandu telah kurang dapat memaksimalkan pelayanan tumbuh kembang balitanya. Bentuk Intervensi ini disebut juga sebagai intervensi tingkat Pertama (INTERVENSI PERTAMA)
- Jika terjadi jumlah kasusnya naik (anak balita dengan Berat Badan Turun dan ada balita BGM-KMS) maka yang dilakukan adalah pengecekan pola konsumsi keluarga anak balita tersebut.
Cek Pola Konsumsi !
Ketiga : Ada dua hal juga yang harus dilakukan terhadap pengecekan pola konsumsi keluarga anak balita yaitu apakah telah terjadi perubahan pola konsumsi atau tidak terjadi Perubahan Pola Konsumsi?
- Pola konsumsi yang dimaksud disini adalah pola makan balita atau keluarga balita yang normalnya adalah dalam sehari harus makan 3 kali (pagi-siang dan malam) jika tidak terjadi perubahan pola konsumsi (makan) dalam sehari maka intervensi yang dilakukan hanya dalam bentuk konseling (KIE), pemantapan posyandu, pemberian PMT penyuluhan dan peningkatan cakupan pelayanan kesehatan. Bentuk Intervensi ini disebut juga sebagai intervensi tingkat Kedua (INTERVENSI KEDUA).
- Jika telah terjadi perubahan pola konsumsi atau makan sudah dibawah 2 kali se hari maka yang dilakukan adalah pengecekan Keluarga Miskin.
Cek Keluarga Miskin !
Keempat : Pengecekan Keluarga Miskin, ada dua langkah yang dilakukan yaitu apakah telah terjadi peningkatan jumlah Keluarga miskin atau tidak terjadi peningkatan jumlah keluarga miskin?
- Yang menjadi ukuran keluarga miskin disini adalah yang berhubung langsung dengan terjadi kekurangan gizi yaitu ketersediaan pangan (makanan) ditingkat rumah tangga dan adanya penyakit pada keluarga serta beberapa aktifitas lainnya yang terhenti akibat penurunan pendapatan keluarga.
- Secara sederhana ketersediaan pangan (makanan) ditingkat rumah tangga yang ditandai dengan pola makan yang kurang dari 2 kali sehari. Untuk indicator adanya penyakit pada keluarga yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengakses pelayanan kesehatan dapat dilihat adanya penyakit yang diderita dan tidak mendapat pelayanan kesehatan. Untuk serta beberapa aktifitas lainnya yang terhenti akibat penurunan pendapatan keluarga dapat dilihat dari kepala keluarga tidak mempunyai pekerjaan tetap.
- Intervensi yang dilakukan jika tidak terjadi peningkatan jumlah keluarga miskin adalah Konseling (KIE), pemantapan posyandu, PMT pemulihan terbatas dan cakupan pelayanan kesehatan kesehatan ibu dan anak. Bentuk Intervensi ini disebut juga sebagai intervensi tingkat Tiga (INTERVENSI TIGA)
- Sementera itu Intervensi yang dilakukan jika terjadi peningkatan keluarga miskin adalah Konseling (KIE), pemantapan posyandu, PMT pemulihan (total), bantuan pangan darurat dan pengobatan. Bentuk Intervensi ini disebut juga sebagai intervensi tingkat Keempat (INTERVENSI KEEMPAT) .
Investigasi dan Intervensi Gizi Buruk adalah prosedur pelacakan dan alternative intervensi setiap kasus gizi buruk yang ditemukan, disebut juga sebagai Standar Operasional Prosedur Kejadian Luar Biasa Gizi Buruk (SOP-KLB-Gizi Buruk) sebagai salah satu standar kompotensi yang harus difahami dengan baik dan benar oleh para pengelola gizi dan pengambil keputusan dalam melaksanakan program perbaikan gizi masyarakat. Ketidak tahuan akan SOP-KLB-Gizi Buruk mengakibatkan kasus-kasus gizi buruk akan selalu muncul, sebagaimana yang sering terjadi di Kabupaten Polewali Mandar yang dikenal sebagai salah satu lumbung padi dan banyak juga keluarga miskinnnya serta wilayah yang masih ditemukan permasalahan gizi-kesehatan (daerah bermasalah kesehatan-miskin) di Propinsi Sulawesi Barat. Ironis memang, tapi itulah kenyataannya………!!!!!?????
Baca juga tulisan terkait :
- Masalah Gizi Buruk dan Tanda-Tanda Klinisnya
- Mendeteksi Gizi Buruk dengan Berat Badan Ideal Anak Balita
- Persentase Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
- Pendidikan-Penyuluhan Gizi dan Kesehatan
- Apakah Berat Badan Balita BGM-KMS adalah Gizi Buruk?
- Laporan Status Gizi dan Pemantauan Pertumbuhan Balita.
- Apakah Masalah Gizi Itu ?
- Patogenesis Penyakit Defisiensi Gizi
- MITOS GIZI BURUK yang dibuat oleh Petugas Kesehatan
- Pola Pertumbuhan Berat Badan Ideal Balita
Blogger @arali2008
Opini dari Fakta Empiris Seputar Masalah Epidemiologi Gizi dan Kesehatan
di Kabupaten Polewali Mandar Propinsi Sulawesi Barat Indonesia
silakan bro.
benar sobat, kita memang sering melakukan kegiatan gizi tanpa SOP, thanks info SOP Penanganan Gizi Buruk. mohon ijin copy paste pak….