Tahun Ke II Pengobatan Massal filaria di Polewali Mandar.
Februari 11, 2009 1 Komentar
Polewali Mandar Sulawesi Barat, @arali2008— Tiba-tiba Kepala Seksi Pengendalian dan pemberantasan penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar (Bpk H. Arfah) datang diruang kerjaku, — posisi saya sebagai fasilitator kabupaten dalam pengobatan massal Filaria (penyakit kaki gajah) dan pejabat fumgsional epidemilogi kesehatan—– ia menanyakan pengobatan masal filaria yang dilakukannya di kabupaten Polewali Mandar yang telah memasuki tahun kedua 2009.
Pada tahun pertama pengobatan masal (tahun 2008 ) obat yang digunakan adalah Deathyl Carbamazine Citrate (DEC), Albendazol dan Paracetamol. Pada tahun kedua (2009) pengobatan massal filaria hanya menggunakan obat DEC, inilah yang menjadi pertanyaan yang ingin diketahui jawabannya dari saya, “Apakah bisa pengobatan massal filaria hanya menggunakan satu obat?”, karena ia diperintahkan oleh petugas dari Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat, segera saja untuk melakukan pengobatan masal filaria di kabupaten Polewali Mandar. Bpk H. Arfa meminta pendapat dari saya dari sudut pandang epidemiologi dan fasilitator dalam acara sosialisasi tingkat kecamatan pada 3.536 kader sebagai pelaksana filaria.
Dasar Pengobatan
“Apakah bisa pengobatan massal filaria hanya menggunakan satu obat?”, Untuk menjawab ini, harus dimengerti dulu dasar dilakukannya pengobatan massal. Dasarnya adalah :
“Standar WHO bila Angka Mikro filaria di atas 1 %, yang dapat diartikan setiap 100 penduduk ada 1 orang yang menderita Filaria (dengan mikro filarianya dalam jaringan getah beningnya), satu penderita inilah yang memungkinkan dapat menularkannya pada 99 orang lainnya”
Dengan dasar inilah, maka suatu wilayah sudah harus mengadakan pengobatan massal guna memutuskan mata rantainya. Dasar inilah yang dipakai Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar untuk melakukan pengobatan massal,
Hasil Survei sebagai dasar Pengobatan Massal
Di tahun 2007 Kabupaten Polewali Mandar berdasarkan survei terbatas di 4 Kecamatan yang menggambarkan situasi kabupaten ditemukan 2,37 % mikrofilaria pada tubuh manusia. “Standar WHO bila Angka Mikro filaria di atas 1 %, sudah harus dilakukan pengobatan Massal” Rekomendasi WHO terhadap obat yang digunakan untuk pengobatan massal ada tiga jenis obat yaitu
- Deathyl Carbamazine Cistrate (DEC),
- Albendazol dan
- Paracetamol.
Obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) berfungsi untuk melumpuhkan otot cacing mikrofilaria, dan cacing kecil ini selanjutnya tidak akan bertahan di tempat hidupnya yaitu di kelenjar getah bening, keluar dari tempat hidupnya yaitu disirkulasi darah membuat komposisi dinding otot yang sudah lumpuh, akan berubah, dan lebih mudah dihancurkan oleh sistem pertahanan tubuh dalam beberapa jam saja. Untuk cacing filaria dewasa yang mati hanya sekitar seperduanya. Sisanya masih tetap hidup, tetapi cacing filaria dewasa yang masih hidup ini, aktifitasnya menjadi lambat bahkan tidak bisa berproduksi (mandul) selama 9-12 bulan
Sementara obat Albendazole dikenal sebagai obat cacing usus (cacing gelang, kremi, cambuk dan tambang). Di daerah endemis filariasis, kecacingan usus, ditemukan cukup tinggi, dan memang di Kabupaten Polewali Mandar Prevalensi Cacingan pada anak sekolah dasar ditemukan sangat tinggi yaitu 45-65 %. Dengan pemberian Albendazol dapat meningkatkan efek DEC dalam mematikan cacing filaria dewasa dan mikro filaria (anak cacing) tanpa menambah reaksi yang tidak dikehendaki. Sementara itu, untuk obat paracetamol diberikan untuk mengatasi timbulnya reaksi pengobatan, misalnya timbulnya reaksi demam.
Beberapa perubahan pengobatan, solusi dan konsekwensinya
Dari Dasar pengobatan diatas maka dapat dijawab bahwa pengobatan massal filaria di Kabupaten Polewali Mandar pada tahun pertama (tahun 2008 ) pemberian dengan menggunakan 3 jenis obat (Deathyl Carbamazine Cistrate (DEC), Albendazol dan Paracetamol) dan pada tahun kedua (2009 ) hanya dengan menggunakan satu jenis obat, (hanya Deathyl Carbamazine Cistrate (DEC)) dapat dijelaskan sebagai berikut :
- Sangat-sangat tidak efektif membunuh cacing filaria dengan jangka waktu satu tahun, cacing dewasa yang sempat hidup dan tidak berproduksi (mandul) selama 9-12 bulan, pada saat pemberian tahun kedua, cacing filaria tidak mandul lagi, ia akan mempunyai anak (manusia adalah reservoirnya), dan kemudian anaknya mati dengan satu obat ini (DEC), tetapi cacing dewasanya, mungkin sebagian dapat dihancurkan namun sisanya tidak akan berpengaruh, karena efeknya yang sangat rendah, sehingga ia terus mempunyai anak selama tahun ketiga. Bukannya memusnakan cacing filaria didalam tubuh mala sebaliknya memproduksi kembali cacing filaria. Memang cacing dewasanya akan mati, tetapi mati bukan karena efek obat tetapi karena masa hidupnya memang sudah berakhir (umur cacing filaria + 5 tahun), namun anaknya akan terus hidup dan melalui gigitan nyamuk (hampir semua jenis nyamuk adalah vektor) ditularkan kembali ke orang-orang disekitarnya. Karena prevalensi kasus yang hanya 2.37 % dapat diasumsikan dengan pengobatan massal, dapat diturunkan dalam jangka waktu tiga tahun, maka pengobatan massalnya diperpanjang selama 5 tahun, sehingga kasus benar-benar bisa di bawah prevalensi 1 %.
- Kalau memang pengobatan masal filaria (bc. Penyakit Kaki Gajah) hanya menggunakan satu obat saja (DEC) seharusnya dilakukan dalam jangka waktu tidak satu tahun tetapi kurang lebih tiap 6 bulan atau waktu dimana cacing dewasa tidak sempat berproduksi anaknya.
- Masalah penyakit cacing pada usus, prevalensinya yang sangat tinggi, diharapkan dengan pengobatan masal filaria dapat diturunkan prevelansinya akan tetapi menjadi masalah yang tidak perna tuntas. Biaya besar yang dikeluarkan, perlu dipertanyakan “Apakah tidak mubajir pengobatan masal yang hanya membunuh cacing filaria yang prevalensinya hanya 2,37 %? Apa tidak sebaiknya hanya lokasi (kecamatan-kecamatan) yang mempunyai kasus filaria saja.? lokasi yang tidak diidentifikasi adanya kasus sebaiknya tidak dilakukan pengobatan massal, karena hal itu adalah kerugian, lainnya halnya kalau ada obat Albendazol, tentunya akan sangat bermanfaat untuk membunuh penyakit kecacingan, tetapi guna menghindari stok obat Deathyl Carbamazine Cistrate (DEC), yang berlebihan tersimpang digudang, tidak salah untuk menditribusikan secara keseluruhan pada setiap warga.
- Dan yang paling penting adalah kader yang sudah dilatih, ditempah menjadi satu misi yaitu bebaskan filaria dan kecacingan mayarakat Polewali Mandar. Ketika mereka melakukan pengobatan, kemudian menyampaikan maksud dan tujuan pengobatan ini, masyarakat akan kembali mempertanyakan “mana obat cacingnya?” kira-kira apa yang dijawab kader, sudah bisa dipastikan mereka akan jawab “obat filaria dan kecacingan” pada hal yang diberikan hanya obat filaria saja. Ini perlu kehati-hatian dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, karena ada saat sosialisi taglinenya adalah Mencegah Filaria (bc. Kaki Gajah) dan Kecacingan”
- Terakhir adalah Komitmen Pemerintah Kabupaten Polewali Mandar ingin mengeliminasi penyakit filaria sampai dibawah 1 % atau komitmen ingin memutuskan matai rantai penularan cacing mikrofilaria dalam pengobatan massal 3 tahun (2008-2010) akan sangat sulit untuk bisa diwujudkan. Dan untuk itu strategi pengobatan untuk eliminasi terpaksa harus dirubah kembali menjadi lima tahun, bukan tiga tahun.
Apakah Masih ada KOMITMEN dan KONSISTENSI?

Pencanangan Pengobatan Massal Filaria dan Kecacingan tanggal 17 Januari 2008 oleh Bupati Polewali Mandar Bpk Ali Baal Masdar. di Halaman Kantor Camat Balanipa
Pertanyaanya adalah “apakah masih ada komitmen dan konsistensi serta selalu bertindak menyeluruh (conprehensif) dalam pengobatan masal penyakit filaria untuk sampai dengan lima tahun kedepan?”.
Jawabnya adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali Mandar masih harus terus berjuang, bukan saja penggerakan masyarakat untuk pengobatan massal tetapi juga menyediakan anggaran operasional dan penyediaan obat-obatnya. Hanya saja Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat yang seharusnya mendukung secara penuh Kabupaten Polewali Mandar dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat malah masih perlu dipertanyakan. Karena program yang sudah matang disusun tetapi malah dibuat mandul setelah diintervensi oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Barat. memang Propinsi Baru, tenaga baru, pintar dan berpikir global tapi dimana komitmen lokalnya.
Namun demikian terlepas dari Kasus Filaria diatas 1 %, (Prevalensi 2.37 %) hingga perlu dilakukannya pengobatan massal, dengan tiga jenis obat, (Deathyl Carbamazine Cistrate (DEC), Albendazol dan Paracetamol) dan pada tahun kedua (2009 ) hanya dengan menggunakan satu jenis obat, (hanya Deathyl Carbamazine Cistrate (DEC)), perubahan strategi dari tiga tahun menjadi 5 tahun pengobatan massal, Insya Allah tetap akan memberikan dampak terhadap penurunan Kasus di bawah 1 % dan kemudian dapat dinyatakan sebagai daerah Eliminasi Filaria (bc. Kaki Gajah), Semoga !
——————————————————————————————–
Baca juga tulisan lainnya
- Peran Kepala Dinas Kesehatan dalam Pemberdayaan Masyarakat Penyediaan Air Bersih Pedesaan
- Mungkinkah Dewan Kesehatan Kabupaten (DKK) Polewali Mandar Dapat Berfungsi
- ADEK dan Penanggulangan Kusta di Propinsi Sulawesi Barat
- Bedah Konsep Strategi RPJPM 2007-2012 Propinsi Sulawesi Barat
- Penyakit Cacing pada Anak SD di Polewali Mandar Tahun 2006 -2008
- Pemberian Vitamin A pada Balita Di Polewali Mandar
- Musrenbang antara Kebutuhan, Keinginan dan Proses Perencanaan Program SKPD
- Apel Siaga Pencanangan Pencegahan Penyakit Berbasis Nyamuk
- Kantong Penularan Penyakit Kusta di Polewali Mandar
- Kepedulian pada Persalinan Ibu Masih Sangat Rendah.
————————————————————————————————————————————————-
Ping-balik: Menghitung Kebutuhan Obat dan Bahan Habis Pakai Puskesmas | Arali2008. Opini dari Fakta Empiris